Buku Fiqih Demokrasi
Tanggal 23 agt 2016, muncul status Ustadz Anshari Taslim. Beliau mempromosikan sebuah buku yang berjudul fiqih demokrasi.
Sontak banyak sekali mendapat tanggapan dari follower beliau.
Namun dengan cepat hal tersebut di tanggapi oleh penulis buku tersebut.
Berikut isinya ;
Al-Ustadz Rappung Samuddin
KLARIFIKASI BIAR ADEM
Wah, ternyata setelah postingan Ust. Anshari Taslim terkait buku kami "Fiqih Demokrasi", langsung ramai tanggapan terhadap judul buku tersebut; antara pendukung, pengkritik, hingga "pengkafiran" (pakai tanda petik) krn ana tahu tidak ada niat pengkritik sampai ke sana, cuma konsekwensi dari pengantar kritiknya bisa menyampaikan pada hukum tersebut, kendati keliru tentunya; he..he...he
Dan itu jauh hari sudah ana prediksi. Bahwa judul ini, oleh sebagian pihak bakal jadi gonjang ganjing. Bukti paling dekat, saat bedah buku, panel ana saat itu ketua DPW HTI Makassar termasuk yang menyindir judul tersebut (afwan, yang ribut lantaran postingan Ust Anshari di atas, bukan dari HTI). Ala kulli hal, semua berhak atas pendapatnya masing-masing dan ana hormati. Jazakumullah khairan atas perhatian yang diberikan pada buku kami tersebut.
Uniknya, sudah beberapa orang Masyaikh yang ana kirimkan gambar cover buku, serta penulisan judul dgn bahasa Arab; tidak ada yang memberi tanggapan apalagi kritik seperti yang lagi menyebar... hehehe. Olehnya, sebagai bentuk pertanggungjawaban ilmiah, dan biar masalah tidak berlarut-larut, maka ada beberapa poin yang akan ana klarifikasi:
1. Sebenarnya judul awal buku tersebut, "Perangkat Demokrasi dalam Timbangan Syari'at", akan tetapi sebagian ahli marketing memberi masukan kalau judul tersebut tidak marketable... alias tidak menjual dan tidak membuat orang penasaran. Maka setelah didiskusikan dan ditimbang, akhirnya lahirlah judul "Fiqih Demokrasi". Dan kalau ada yang keberatan, ana mohon maaf sebelumnya.
2. Kesalahan mendasar dari mereka yang mengkritik judul buku ini, adalah karena mereka belum membaca apa isi dan kandungannya. Makanya ana masih ingat sekali, waktu diskusi dan bedah buku, panel ana pun mengakui bahwa dia blm baca isi bukunya. Akhirnya ngambang dan tidak nyambung.
3. Kesalahan mendasar lainnya, anggapan bahwa cakupan "Fikih" itu hanya penghalalan. Padahal fikih itu mencakup penetapan hukum syari, baik yang sifatnya taklifiyah berupa wajib, sunnah, mubah, haram, dan makruh. Maupun Wadh'iyyah, yakni Syarat, Sebab, dan Mani' (penghalang) atau ringkasnya Shahih atau Fasadnya sebuah ibadah.
Jadi kalau dipahami fikih itu hanya penghalalan, yah demikian hasilnya. ketika orang katakan fikih zina = penghalalan zina, dan ini tidak syak pelakunya kafir. Termasuk dengan pemahaman "fikih demokrasi" = penghalalan demokrasi. padahal sekali lagi, cakupan fikih bukan hy penghalalan.
Maka kalau ada yang mengatakan (menulis) fikih minum khamar, maka liat dulu kandungan pernyataan atau yang ditulis. Kalau isinya merajihkan penghalalan maka pelakunya bisa kafir. tapi kalau isinya membongkar pernak-pernik khamar, hingga kondisi darurat seorang boleh minum khamar, maka urusannya lain lagi.
4. Sekarang coba kita lihat definisi Fikih. Secara bahasa ia bermakna al Fahmu atau pemahaman. Jika dikaitakan dengan judul buku di atas, maka maknanya "Pemahaman atau memahami Demokrasi", bukan menghalalkan.
5. Adapun secara makna istilah atau makna syar'inya, fikih berarti : "Al-Ilmu bil Ahkam Asy Syar'iyyah Al-Amaliyah al-Muktasabah min Adillatiha At Tafshiliyah", artinya "Ilmu terkait hukum-hukum syari'at yang sifatnya amaliyah yang diambil dari dalil-dalil yang sifatnya terperinci".
Dalam Al-Wajiz fi Ushul Al-Fiqh karya Dr. Abdul Karim Zaidan, disebutkan penjabaran definisi ini, bahwa yang dimaksud Ahkam disini adalah "Apa yang ditetapkan dari perbuatan Mukallaf, berupa hukum wajib, nadab, haram, makruh, boleh, sahih, fasid, atau batil (batal).
Jadi nampak di sini, bahwa fikih itu ilmu untuk mengetahui hukum-hukum tersebut, dan bukan penetapan satu hukum saja, yakni penghalalan.
Olehnya, ketika ada judul "Fikih Demokrasi", itu maknanya ilmu untuk mengatahui hukum apa yang terkandung dalam demokrasi itu.
6. Jika kalimat "Fikih Demokrasi" tidak boleh maka kalimat "Hukum Demokrasi" juga tidak boleh. termasuk kalimat "Hukum Zina", "Hukum Minuman Khamar" dan sebagainya. Dan ini tidak ada di antara ulama yang mengatakannya.
Perhatikan makna "Hukum" secara istilah, "Dia adalah Perkataan Allah (Alqur'an atau Sunnah) yang terkait dengan perbuatan-perbuatan mukallaf apakah dia iqtidha (perintah, larangan/wajib, sunnah, haram dan makruh), takhyir (pilihan/ mubah), atau wadha' (sebab, syarat, mani').
Coba kita timbang antara kata fiqih dan kata hukum. Sangat dekat definisinya. Cuma, Fikih itu ilmu/pengetahuan untuk mengetahui hukum-hukum tersebut. Sedangkan hukum, dia sudah menjurus pada penetapan hukum-hukum itu. Jadi definisi hukum lebih "berat konsekwensinya" jika memakai pemahaman keliru tersebut. Olehnya, kalau Fikih langsung dimaknai sebagai "penghalalan", maka lebih-lebih lagi pada kalimat hukum (juga menjurus pada makna tersebut) dan ini jelas keliru. Mudah-mudahan dipahami.
Ana kira cukup penjelasan ini. Semoga dipahami. Dan mohon maaf atas ketidaknyamanan antum semua. Tidak usah diperpanjang karena hanya akan lebih menampakkan siapa sebenarnya kita.
Intinya, baca dulu baru tarik kesimpilan. Sebab cover bisa saja mengandung beragam tafsir. Uhibbukum fillah.
Cat:
Kendati demikian, secara pribadi ana tidak sepakat dengan istilah "Fikih Zina", "Fikih Minum Khamar" dan selainnya berupa hukum-hukum yang telah jelas qath'i penetapan keharamannya menurut Alqur'an dan As-Sunnah. Sebab, ia bisa mengarah pada istihza' atau olok-olokan.
Maka itulah, tidak tepat jika disamakan antara kalimat "Fikih Demokrasi" dengan "Fikih Zina". Sebab zina telah qath'i pengharamannya, sementara perkara apa yang dikandung dalam demokrasi masih menjadi perdebatan dikalangan ulama. Wallahu A'lam.
Sontak banyak sekali mendapat tanggapan dari follower beliau.
Namun dengan cepat hal tersebut di tanggapi oleh penulis buku tersebut.
Berikut isinya ;
KLARIFIKASI BIAR ADEM
Wah, ternyata setelah postingan Ust. Anshari Taslim terkait buku kami "Fiqih Demokrasi", langsung ramai tanggapan terhadap judul buku tersebut; antara pendukung, pengkritik, hingga "pengkafiran" (pakai tanda petik) krn ana tahu tidak ada niat pengkritik sampai ke sana, cuma konsekwensi dari pengantar kritiknya bisa menyampaikan pada hukum tersebut, kendati keliru tentunya; he..he...he
Dan itu jauh hari sudah ana prediksi. Bahwa judul ini, oleh sebagian pihak bakal jadi gonjang ganjing. Bukti paling dekat, saat bedah buku, panel ana saat itu ketua DPW HTI Makassar termasuk yang menyindir judul tersebut (afwan, yang ribut lantaran postingan Ust Anshari di atas, bukan dari HTI). Ala kulli hal, semua berhak atas pendapatnya masing-masing dan ana hormati. Jazakumullah khairan atas perhatian yang diberikan pada buku kami tersebut.
Uniknya, sudah beberapa orang Masyaikh yang ana kirimkan gambar cover buku, serta penulisan judul dgn bahasa Arab; tidak ada yang memberi tanggapan apalagi kritik seperti yang lagi menyebar... hehehe. Olehnya, sebagai bentuk pertanggungjawaban ilmiah, dan biar masalah tidak berlarut-larut, maka ada beberapa poin yang akan ana klarifikasi:
1. Sebenarnya judul awal buku tersebut, "Perangkat Demokrasi dalam Timbangan Syari'at", akan tetapi sebagian ahli marketing memberi masukan kalau judul tersebut tidak marketable... alias tidak menjual dan tidak membuat orang penasaran. Maka setelah didiskusikan dan ditimbang, akhirnya lahirlah judul "Fiqih Demokrasi". Dan kalau ada yang keberatan, ana mohon maaf sebelumnya.
2. Kesalahan mendasar dari mereka yang mengkritik judul buku ini, adalah karena mereka belum membaca apa isi dan kandungannya. Makanya ana masih ingat sekali, waktu diskusi dan bedah buku, panel ana pun mengakui bahwa dia blm baca isi bukunya. Akhirnya ngambang dan tidak nyambung.
3. Kesalahan mendasar lainnya, anggapan bahwa cakupan "Fikih" itu hanya penghalalan. Padahal fikih itu mencakup penetapan hukum syari, baik yang sifatnya taklifiyah berupa wajib, sunnah, mubah, haram, dan makruh. Maupun Wadh'iyyah, yakni Syarat, Sebab, dan Mani' (penghalang) atau ringkasnya Shahih atau Fasadnya sebuah ibadah.
Jadi kalau dipahami fikih itu hanya penghalalan, yah demikian hasilnya. ketika orang katakan fikih zina = penghalalan zina, dan ini tidak syak pelakunya kafir. Termasuk dengan pemahaman "fikih demokrasi" = penghalalan demokrasi. padahal sekali lagi, cakupan fikih bukan hy penghalalan.
Maka kalau ada yang mengatakan (menulis) fikih minum khamar, maka liat dulu kandungan pernyataan atau yang ditulis. Kalau isinya merajihkan penghalalan maka pelakunya bisa kafir. tapi kalau isinya membongkar pernak-pernik khamar, hingga kondisi darurat seorang boleh minum khamar, maka urusannya lain lagi.
4. Sekarang coba kita lihat definisi Fikih. Secara bahasa ia bermakna al Fahmu atau pemahaman. Jika dikaitakan dengan judul buku di atas, maka maknanya "Pemahaman atau memahami Demokrasi", bukan menghalalkan.
5. Adapun secara makna istilah atau makna syar'inya, fikih berarti : "Al-Ilmu bil Ahkam Asy Syar'iyyah Al-Amaliyah al-Muktasabah min Adillatiha At Tafshiliyah", artinya "Ilmu terkait hukum-hukum syari'at yang sifatnya amaliyah yang diambil dari dalil-dalil yang sifatnya terperinci".
Dalam Al-Wajiz fi Ushul Al-Fiqh karya Dr. Abdul Karim Zaidan, disebutkan penjabaran definisi ini, bahwa yang dimaksud Ahkam disini adalah "Apa yang ditetapkan dari perbuatan Mukallaf, berupa hukum wajib, nadab, haram, makruh, boleh, sahih, fasid, atau batil (batal).
Jadi nampak di sini, bahwa fikih itu ilmu untuk mengetahui hukum-hukum tersebut, dan bukan penetapan satu hukum saja, yakni penghalalan.
Olehnya, ketika ada judul "Fikih Demokrasi", itu maknanya ilmu untuk mengatahui hukum apa yang terkandung dalam demokrasi itu.
6. Jika kalimat "Fikih Demokrasi" tidak boleh maka kalimat "Hukum Demokrasi" juga tidak boleh. termasuk kalimat "Hukum Zina", "Hukum Minuman Khamar" dan sebagainya. Dan ini tidak ada di antara ulama yang mengatakannya.
Perhatikan makna "Hukum" secara istilah, "Dia adalah Perkataan Allah (Alqur'an atau Sunnah) yang terkait dengan perbuatan-perbuatan mukallaf apakah dia iqtidha (perintah, larangan/wajib, sunnah, haram dan makruh), takhyir (pilihan/ mubah), atau wadha' (sebab, syarat, mani').
Coba kita timbang antara kata fiqih dan kata hukum. Sangat dekat definisinya. Cuma, Fikih itu ilmu/pengetahuan untuk mengetahui hukum-hukum tersebut. Sedangkan hukum, dia sudah menjurus pada penetapan hukum-hukum itu. Jadi definisi hukum lebih "berat konsekwensinya" jika memakai pemahaman keliru tersebut. Olehnya, kalau Fikih langsung dimaknai sebagai "penghalalan", maka lebih-lebih lagi pada kalimat hukum (juga menjurus pada makna tersebut) dan ini jelas keliru. Mudah-mudahan dipahami.
Ana kira cukup penjelasan ini. Semoga dipahami. Dan mohon maaf atas ketidaknyamanan antum semua. Tidak usah diperpanjang karena hanya akan lebih menampakkan siapa sebenarnya kita.
Intinya, baca dulu baru tarik kesimpilan. Sebab cover bisa saja mengandung beragam tafsir. Uhibbukum fillah.
Cat:
Kendati demikian, secara pribadi ana tidak sepakat dengan istilah "Fikih Zina", "Fikih Minum Khamar" dan selainnya berupa hukum-hukum yang telah jelas qath'i penetapan keharamannya menurut Alqur'an dan As-Sunnah. Sebab, ia bisa mengarah pada istihza' atau olok-olokan.
Maka itulah, tidak tepat jika disamakan antara kalimat "Fikih Demokrasi" dengan "Fikih Zina". Sebab zina telah qath'i pengharamannya, sementara perkara apa yang dikandung dalam demokrasi masih menjadi perdebatan dikalangan ulama. Wallahu A'lam.
No comments:
Post a Comment